Bukan pekerjaan mudah untuk menilai sebuah terjemahan, apakah berkualitas atau tidak. Secara umum ada tiga kriteria sebuah terjemahan dianggap berkualitas, yakni bahwa terjemahan itu mudah dipahami pembaca, yang berarti harus memiliki keterbacaan tinggi. Namun di sisi lain, sebuah terjemahan yang berkualitas juga memiliki tingkat akurasi yang tinggi. Keakuratan terjemahan sangat erat dengan seberapa jauh kepatuhan bahasa sasaran terhadap bahasa sumber. Namun demikian, jika amanat bahasa sasaran sangat patuh dengan amanat bahasa sumber, tidak menutup kemungkinan hasil terjemahannya terasa tidak alamiah, kaku dan tidak berterima di benak pembaca. Oleh karena itu ada semacam pertentangan antara keberterima an dengan keakuratan.
Proses penerjemahan selalu berada dalam tarik menarik dua kepentingan utama yaitu keakuratan dan keberterimaan. Dua kutub ini masing-masing mengabdi pada dua kepentingan yang berbeda. Akurasi mengabdi pada kepentingan teks bahasa sumber yaitu makna atau pesan dengan segala aturan dan normanya. Sedangkan keberterimaan mengabdi pada kepentingan teks bahasa sasar an yaitu kaidah gramatika, pilihan kata, dan hal-hal yang berkaitan latar belakang kultural dan norma atau dengan kata lain berpihak pada audiens teks bahasa sasaran
Sebuah teks terjemahan yang terlalu berkiblat pada teks bahasa sumber akan terdengar asing bagi ‘telinga’ pembaca. Teks akan masih terasa sebuah terjemahan. Pilihan seorang penerjemah untuk berkiblat secara ketat pada teks bahasa sumber bisa jadi merupakan simbol kehati-hatian penerjemah dalam menghadapi informasi yang terdapat pada teks bahasa sumber. Tentu usaha untuk menjaga ke akuratan kadang seorang penerjemah perlu sedikit mengorbankan keberterimaan sebuah teks terjemahan. Sebuah resiko yang kadang menyulitkan seorang penerjemah tersumpah.
Keberterimaan, sebaliknya, mengabdi pada kepentingan teks bahasa sasaran. Bahasa sasaran selalu mempunyai aturan, kaidah gramatika dan pilihan kata yang berbeda dengan bahasa sumber. Menyampaikan informasi secara akurat tetapi dengan tetap patuh pada aturan ba hasa sasaran kadang bisa menimbulkan konflik yang serius. Konflik bisa terjadi karena sesuatu yang harus patuh
pada bahasa sasaran akan berarti mengesampingkan in formasi tertentu pada teks bahasa sumber. Seperti yang di katakan Hatim dan Munday (2004) tentang konsep unfaith jilberties, yang kira-kira artinya terjemahan yang tampak cantik (berterima) akan cenderung tidak setia (unfaithful). dan sebaliknya terjemahan yang setia (akurat) cenderung terdengar tidak cantik (kurang berterima). Ketika seorang penerjemah menerjemahkan kalimat sederhana di bawah in misalnya:
1. I have one brother.
2. Saya punya seorang saudara laki-laki
3. Saya punya seorang adik.
Dia berhadapan dengan dua pilihan. Apakah akan lebih memilih keakuratan dan sedikit mengorbankan keberterimaan atau sebaliknya. Jika ia memilih yang pertama, ia akan berusaha mengalihkan semua informasi yang ada. pada teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran. Kata “brother” yang mengandung informasi ‘saudara kan dung dan gender ‘laki-laki’ diterjemahkan secara utuh sehingga kalimatnya berbunyi (2) “Saya punya seorang se orang saudara laki-laki. Di sini kita melihat informasi teks sumber di transfer secara utuh ke dalam teks bahasa sasaran. Tidak ada informasi yang tercecer dan tidak terakomodasi dalam teks bahasa sasaran. Keakuratan ini bukannya tanpa resiko. Kesetiaan “berlebihan” pada ba hasa sasaran berakibat pada berkurangnya keberterimaan. Kalimat pada contoh (2) terdengar tidak begitu lazim bagi pendengar bahasa Indonesia dan cenderung terdengar seperti sebuah teks terjemahan. Ada informasi yang menurut bahasa Indonesia “tidak penting” tapi disampai kan pada teks terjemahan. Informasi gender pada ujaran dalam bahasa Indonesia ini dianggap tidak terlalu penting sehingga tidak perlu disampaikan secara eksplisit. Mung kin hanya lewat konteks saja seorang pembicara bahasa Indonesia akan mengetahui gender yang sedang ia rujuk Kalimat (2) merepresentasikan kalimat yang lebih berterima meskipun menjadi berkurang keakuratannya. Kata adik pada kalimat (2) tidak mengandung unsur gender seperti kata brother pada teks bahasa sumber. Dan seba liknya, kalimat (2) meskipun berterima, menjadi berkurang keakuratannya karena ada informasi yaitu informasi gen der yang tidak tersampaikan.
Baca Juga : Jasa Penerjemah Tersumpah
Di sini kita melihat bahwa keakuratan dan keberterimaan menjadi dua hal yang kadang sulit untuk didamai kan. Ketika kita mengutamakan keakuratan, kita kadang harus sedikit mengorbankan keberterimaan. Demikian juga sebaliknya. Penerjemah, dengan demikian perlu berhati-hati untuk tidak tergelincir dalam wilayah ekstrim keduanya. Keberterimaan tidak saja terjadi pada tataran leksikal, gaya pengungkapan juga menentukan apakah sebuah kalimat atau ujaran bisa berterima untuk pendengar teks bahasa sasaran atau tidak..